Saturday, September 26, 2009

Untuk Pujaan Hatiku dan Hujan

Untuk Pujaan Hatiku,

Tentang sesuatu aku sungguh merasa iri padanya: hujan.

Aku menunggumu di sekretariat PMR seperti biasa hari itu. Namun sore tengah mendung cukup pekat tak seperti biasa. Kau muncul dari ujung arah pandangku. Dari sana memang kau selalu muncul. Ceria, penuh gairah, senyum merekah di wajah putihmu. Tapi tidak kali ini.

Ya ampun. Rona mukamu padam dan kusam. Ceriamu hilang entah ke mana digusur murung. Langkahmu berat tiada gairah. Kau pun seolah lupa cara tersenyum manis seperti yang sudah-sudah. Apa gerangan yang terjadi padamu? Apa yang merundung hati dan pikiranmu?

Aku hampir saja bangkit dari lamunanku untuk meraih tubuhmu yang lunglai. Aku hampir saja melupakan jati diriku sebagai pengagum rahasiamu. Karena aku memang ingin sekali menyongsongmu dengan senyum terbaikku, menawarkan hiburan terlucu yang bisa kuberikan, menghapus kusam di wajahmu.

Tapi kakiku terpaku begitu dalam ke perut bumi. Semua daya seakan musnah saat aroma tubuhmu melewati bulu-bulu hidungku. Aku tak berkutik mendengar suaramu yang parau saat itu. Ya Tuhan, sensasi yang sama. Selalu.

Selang menit berganti, kau sudah ada di hadapanku lagi. Terduduk lesu di bangku kayu. Menatap hampa. Menanti entah. Aku pun menanti.

Hujan turun diawali gerimis selama sepuluh detik. Seketika duniamu berbalik tanpa permisi. Kau bangkit dan setengah berlari menyambut hujan. Sambil terpejam, tetes demi tetes air hujan melunturkan murung di wajahmu. Sedikit demi sedikit, kurasakan energimu memancar kembali bergairah. Tanpa perlu waktu lebih lama, hujan deras merenggutmu dari dunia nyata.

Kau sama sekali berbeda dari dirimu sejam yang lalu. Hujan telah mengembalikan duniamu yang seharusnya. Hujan sungguh-sungguh mencairkan kebekuan hati dan pikiranmu. Hujan sangat kau nikmati saat itu.

Kau menari-nari dalam basah. Sambil mendendangkan melodi hujan ciptaanmu sendiri. Kau tak hanya ceria, tapi bahagia karenanya. Senyummu terlalu indah untuk kulewatkan barang sekejap.

*******


Kepada Hujan,

Aku hampir gila belakangan ini. Kau hadir terus-menerus sejak hari pertama kedatanganmu di Januari. Tak perlu kau beri tahu alasan retorismu. Aku tahu memang di bulan ini kau enggan absen dari muka bumi. Aku pernah mendengar sejarah nama Januari yang diambil dari aktivitasmu: hujan sehari-hari.

Namun pikiranku tak keruan setiap langit mendung. Lalu kacau ketika gerimis mengawali dirimu. Dan tak ada yang dapat menolongku saat kau memulai aksi menawanmu.

Bukan. Itu bukan salahmu sepenuhnya.

Aku hanya merasa iri padamu. Seandainya kau tahu, di luar sana, ada seorang gadis jelita yang begitu menyanjung dirimu. Seandainya kau tahu, betapa manis gadis yang selalu tersenyum saat kau menghampiri bumi. Seandainya kau tahu betapa gadis pemujamu adalah pujaanku. Seandainya kau mengerti.

Oh, Hujan. Sungguh dia sangat mengagumimu. Dia begitu men-syukuri keberadaanmu. Dia tak bosan menunggu demi melihatmu. Dia, dia membuatku sangat iri akan posisimu.

Sementara di sini, aku tak pernah sekalipun bertutur kata dengannya. Tiada pernah dia tersenyum bahagia saat melihatku datang. Tak pernah kuingat dia menari kegirangan saat aku menyanyi misalnya. Di luar itu semua, aku merasa tak pantas hadir mengusik pandangannya. Aku pikir perhatianku tak boleh lebih dari mengamati. Dan itulah yang terjadi antara aku dan dia.

Saat memikirkan kemungkinan lain yang mungkin ada, aku hanya menemui jalan buntu: ketakutan. Takut akan kehilangan dirinya. Takut takkan lagi melihat senyumnya. Takut menatap rona kecewa di wajahnya. Saat dia menyadari keberadaanku.

Aku iri padamu melebihi apapun.

*******


Kepada Dia yang Menyanjung Hujan Seperti Aku Menyanjungnya,

Aku ingin menjadi hujan. Aku ingin kau menganggapku hujan. Aku ingin menjadi penawar sedihmu, penghapus gundah di hatimu, penyengat saraf senyum di wajahmu. Aku ingin berarti besar seperti hujan memiliki arti dalam hidupmu. Aku ingin dapat berbuat melebihi hujan yang kau kenal selama ini.

Walau harus mengguyur musim panas. Meski harus bertarung dengan terik raja siang. Walau harus bergulat dengan mantra-mantra pawang sakti.

Tiada yang dapat menghalangiku menjadi hujan. Hujan yang sungguh berarti bagi dirimu. Hujan yang kau tunggu di waktu-waktu tertentu. Hujan yang kau sambut dengan senyum terindah darimu. Hujan yang kau syukuri keberadaannya. Hujan yang kau cintai setulus hatimu.


Yogyakarta, 2008




Sumber gambar:

http://krazi-shuttler.deviantart.com/art/In-the-rain-67197119